Masih ingat masa masa pasca kelulusan dan memasuki dunia
kerja? Banyak orang mempunyai pengalaman yang unik. Tetapi kebanyakan
dari kita pasti yakin bahwa dunia kerja memang berbeda dengan dunia kampus.
Ada beberapa lulusan yang langsung stres dengan tuntutan atasan, peraturan
perusahaan, yang seolah membatasi kebebasannya berkreasi dan bergerak.
Sementara si atasan di perusahaan juga melihat para “fresh grad”
seperti mahluk dari dunia lain, beridentitas ‘gen Y’, dan tiba tiba
mulai berkeluh kesah mengenai perbedaan generasi. Jadi sebenarnya jurang
antara kampus dan korporasi itu memang nyata masih cukup dalam. Bukan saja
para “fresh grad” yang setres, ternyata pihak atasanpun
mengalami kesulitan. Kita lihat saja, perbedaan yang nyata, yaitu dalam
soal pemanfaatan waktu. Ada yang terkejut karena tiba-tiba tidak perlu
membawa ‘pe er’ lagi ke rumah, seperti jaman kuliah. Sebaliknya ada
yang tidak terbiasa dengan bekerja terus menerus sepanjang tahun tanpa
libur semester, akhir tahun yang panjang. Kitapun tahu bahwa
‘deadline’ tidak bisa diperlakukan sembarangan.
Keketatan penggunaan waktu, dan perencanaan di tempat kerja, juga berbeda
gaya.
Bila di masa kuliah kinerja hanya dipertanggung jawabkan oleh mahasiswanya sendiri, saat bekerja, kita bertanggung jawab terhadap kinerja kelompok, atasan, dan bahkan perusahaan. Di masa kuliah salah jawab akan berdampak pada diri sendiri. Di pekerjaan, bisa berakibat fatal. Ada ‘personal accountability” yang dituntut oleh perusahaan. Individu yang memasuki dunia kerja harus menjadi orang yang bertambah kepedulian dan tanggung jawab terhadap kemajuan dirinya sendiri. Pada saat inilah keunikan pribadi dan karater personal seseorang bisa membantunya untuk ‘survive’ di lingkungan kerja. Seorang yang terlihat sebagai pemain tim, dan bisa lebih diandalkan, akan lebih ‘terpakai’ di lingkungan kerja.
Adanya kesenjangan ini diakui hampir semua orang. Dan kemudian, banyak juga yang berusaha menuding lembaga pendidikan, tentang ketidak siapan si ‘anak baru’ ini. Padahal bila kita telaah lebih jauh, walaupun ada upaya untuk menugaskan para mahasiswa untuk berpraktek kerja, memang mereka tidak bisa dipersiapkan untuk menguasai ketrampilan kerja yang memadai. Universitas tidak bisa membuat kurikulum yang sepenuhnya mengajarkan ketrampilan bekerja. Suasana bekerja tim tidak sama ‘pressure’ dan urgensinya dengan dunia pendidikan. Demikian pula kemampuan menghadapi orang lain. Sebuah perusahaan, yang tergolong paling besar dengan manajemen yang sangat rapih pun tiba tiba sangat menyadari bahwa kemampuan dan kesupelan menghadapi orang lain merupakan ketrampilan yang mutlak penting. Jadi kita lihat, ‘lifeskills’ dan ‘work skills’ memang harus dikuasai cepat oleh teman-teman yang baru lulus universitas. Knight dan Yorke pernah mengemukakan kebutuhan kompetensi khas dunia kerja dunia kerja: pemahaman dan penyerapan jalannya bisnis perusahaan dengan cepat, menguasai praktek operasional tugas yang dihadapi, serta ‘meta kognisi’ yaitu kemampuan dan penyadaran diri sendiri dan evaluasi diri, sehingga semangat belajar tetap bisa dihidupkan. Memang, "[The real world] is a big change, more then you can ever imagine when you are sitting in the classroom thinking about the outside world!"
Banyak Lowongan Banyak Pengangguran
Kenyataan menunjukkan banyaknya pencari kerja berdesakan mendaftarkan diri di lowongan yang tersedia. Di beberapa lembaga yang rekrutmennya di tangani oleh Experd, kebutuhan karyawan sebanyak 60 orang, di daftar oleh kurang lebih 100. 000 orang. Kita lihat bahwa banyak pencari kerja yang tersedia. Lowongan kerjapun tidak sedikit. Namun seringkali penyedia kerja mempunyai kriteria sendiri ketika merekrut, dan hal ini sering tidak sejalan dengan kompetensi yang tersedia pada pencari kerjanya. Yang jelas, perekrut menyimpan pertanyaan : “Bisakah si calon langsung bekerja?” “Bisakah calon bertahan untuk waktu yang panjang?” “Bisakah calon ini, di kemudian hari dipromosikan?” Sebuah perusahaan konsultan “Right Management” menyebutkan beberapa ketrampilan yang diburu para penyedia kerja, antara lain, kepemimpinan, kemampuan manajemen, kemampuan interpersonal, inovasi dan kekuatan mental tahan banting yang kesemuanya adalah ‘soft skills’, di prioritas mereka. Konsultan ini mengganggap bahwa kemampuan berjualan, baik konsep diri sendiri, maupun produk dan jasapun sudah menjadi ketrampilan yang krusial, untuk tingkatan manapun, termasuk para pemula kerja . Demikian pula kemampuan servis, memahami pelanggan, internal dan eksternal dipersyaratkan perusahan perusahan perekrut. Kemampuan teknis dan penguasaan IT tentunya juga sudah dianggap sebagai kemampuan dasar. Dari sini kita melihat, bahwa hanya kemampuan teknis saja yang memang sudah ditempa di universitas, sementara kemampuan lain perlu dikembangkan oleh mahasiswa sendiri. “Employability skills” banyak bersifat nonteknis, padahal pemahaman dan pengetahuan ini hanya bisa terlatih bila seseorang bekerja serius di dunia kerja.
Menavigasi Dunia Kerja
Bagi ‘fresh grad” yang beruntung, ia bisa saja mendapatkan tempat kerja baru, di mana ada pelatihan intensif di mana unggah ungguh dunia kerja diperkenalkan di sana. Sebetulnya segala sesuatu yang termasuk dalam budaya kerja di perusahaan, adalah hal hal yang ‘common sense’ . Ada individu yang mudah menyesuaikan diri, tetapi ada yang sulit memahami perannya di dunia kerja, sesuai harapan perusahaan, serta hak dan kewajibannya. Persoalan yang paling sering dihadapi baik oleh para senior di perusahaan dan para pemula adalah interaksi. Dalam hubungan kerja, sering terasa adanya kesulitan berkomunikasi, dari upaya membangun tim, bekerja sama untuk mencapai tujuan tim, apalagi menyamakan persepsi. Values, keyakinan, dan kebiasaan dari masing masing pihak yang berbeda terasa sulit diseimbangkan. “Get things done’ yang memang sudah menjadi motto dari hampir semua institusi dan tidak bisa ditawar tawar lagi, sering menjadi ‘pressure’ bagi individu yang baru bekerja.
Curi Start Sedini Mungkin
Kesenjangan yang sering disebut sebut sebagai kendala kinerja ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Para pencari kerja yang biasanya terdiri dari generasi ‘digital’ sebenarnya mempunyai banyak kelebihan lain, dibandingkan generasi sebelumnya. Banyak orang masih mengira bahwa kreativitas itu domain para seniman dan orang orang jenius, padahal di setiap tugas ada upaya mencari efisiensi dan efektivitas. Itulah kreativitas yang harus menjadi kebiasaan orang bekerja. Sebagai generasi yang lebih terbiasa mencari solusi yang ‘beda’ yang ‘tidak biasa’, ini merupakan kesempatan. Siapa yang harus proaktif? Yang mudalah yang harus mengupayakan ‘employability’nya sendiri. Para freshgrads harus berusaha memahami dan cepat menjadi profesional. Semua yang dipelajari di bangku kuliah perlu segera dikaitkan dengan tempat kerjanya kelak. Selain itu, latihan untuk berpresentasi dan berhubungan secara 360 derajat perlu dianggap serius. Tidak ada produk yang laku, bila tidak dikemas, kitalah yang perlu mengemas diri kita sendiri.
Keriaan dan kebahagiaan hari wisuda hanya akan berlangsung sehari. Perayaan sesungguhnya akan keberhasilan kita dalam menempuh pendidikan, meraih prestasi, bukan dibuktikan melalui kemewahan gedung wisuda maupun kebesaran seragam toganya, namun ditunjukkan dalam seberapa cepat kita dapat berkarya dan meraih prestasi di kehidupan nyata. Jadi bagi adik-adik yang sedang berada dalam euforia selesainya menempuh pendidikan, kita perlu menanamkan mindset bahwa kehidupan karir yang sesungguhnya baru dimulai.
Di sinilah segala kemampuan kita diuji, tidak hanya secara tertulis melalui secarik kertas ijazah, namun juga kemampuan daya tahan, sikap tidak lekas putus asa, kesungguhan hati yang akan menunjukkan kualitas diri kita sebagai seorang yang siap menghadapi tantangan dunia kerja. Tidak mungkin kita sudah putus asa setelah lamaran kerja ditolak berkali- kali. Apalagi mengeluhkan tidak adanya pengalaman kerja, sementara kita memang belum pernah bekerja. Kita seharusnya bisa menelaah, kelebihan apa yang bisa ditonjolkan seorang ‘freshgraduate’ sehingga ia bisa mempunyai daya saing yang kuat di antara teman-temannya. Mengapa yang satu lebih cepat direkrut oleh perusahaan bahkan kadangkala ia mendapatkan tawaran menarik dari beberapa perusahaan sekaligus, sementara yang lain tidak juga kunjung mendapatkan respons meskipun sudah berpuluh – puluh lamaran dan proses seleksi ia ikuti. Sesungguhnya, penting untuk diingat oleh para fresh graduate bahwa mereka tidak bersaing dengan orang-orang berpengalaman, namun justru bersaing dengan rekan-rekan sebayanya. Perusahaan yang membuka kesempatan bagi fresh graduate untuk melamar pastilah memahami bahwa mereka belum memiliki pengalaman bekerja secara formal. Namun kesiapan seorang fresh graduate untuk memasuki dunia kerja dapat dilihat dari sikapnya menghadapi wawancara, pengalamannya dalam ‘mengisi’ dirinya sendiri selama duduk di bangku sekolah di luar tugas – tugas pendidikannya yang menempa dia individu yang lebih matang dalam membangun relasi dengan orang lain, serta bagaimana ia memahami ‘bisnis’ organisasi tempatnya melamar sehingga ia siap berkontribusi terhadap pengembangan bisnis tersebut.
Secara kuantitatif persaingan pasti lebih keras karena jumlah lulusan setiap tahunnya semakin bertambah dengan perbandingan jumlah lowongan pekerjaan yang jauh lebih sedikit karena perusahaan juga terus melakukan efisiensi. Jadi meningkatkan daya saing, berupaya agar menonjol, dan menarik hati perekrut adalah hal terpenting.
Tonjolkan Diri
Bagaimana dengan angka yang dihasilkan selama belajar di universitas? Angka tersebut memang menjadi bahan pertimbangan, tetapi mengingat derajat kesulitan yang berbeda-beda di setiap perguruan tinggi, maka lembaga perekrut biasanya tidak semata mengandalkan angka prestasi belajar. Mau tidak mau, upaya dan kesiapan mental si fresh graduate memang perlu ditempa secepat mungkin, bahkan ketika masih di bangku kuliah.
Selain rekor nilai dan angka pendidikan, sebetulnya kita bisa meningkatkan daya saing di antara teman-teman kita. Kita bisa bertanya pada diri sendiri sukses-sukses kecil apakah yang sudah pernah tercatat dalam sejarah karir kita. Terkadang, kita lupa atau bahkan tidak menyadari kejadian dan peristiwa yang pernah kita menangkan, namun tidak kita simpan dalam benak kita, apalagi secara tertulis. Padahal nyata-nyata formulir lamaran kerja meminta kita untuk mencantumkan pengalaman prestasi, kepemimpinan dan berorganisasi yang pernah diraih. Kita pun tidak bisa menyepelekan media sosial yang menjadi sarana bagi kita untuk berkenalan, berkawan, menjadi anggota komunitas, bertatap muka, bahkan berlatih untuk bersosialisasi. Kebiasaan ini memupuk kompetensi kita untuk berhubungan dengan orang lain, berorganisasi, dan berkolaborasi. Ini akan menjadi modal untuk memberi nilai lebih pada rekor kita.
Sikap itu Super Penting
Pernah ada teman yang menerangkan mengapa ia memilih seorang fresh graduate dibanding dengan calon lain yang berpengalaman. Ia mengatakan bahwa calon tersebut terkesan “serba mau”. Kita lihat bahwa calon ini memiliki potensi untuk bisa mengalahkan rekannya yang berintelegensi lebih tinggi karena sikapnya. Hal seperti inilah yang sering tidak disadari oleh para fresh graduate. Di lain kesempatan, pernah ada seorang calon karyawan yang tidak merespons panggilan berikutnya dalam proses seleksi karena ia merasa panitia rekrutmen tidak profesional ketika ia disuruh menunggu berjam-jam dan ternyata interviu hanya berlangsung kurang dari 30 menit. Sampai saat ini ia belum juga menemukan pekerjaan yang tepat untuk dirinya.
Kita memang tidak boleh memelihara sikap putus asa, justru sebaliknya mengembangkan sikap terbuka dan fleksibel. Apa salahnya menunggu berjam-jam untuk suatu pekerjaan yang kita ingini dan sukai? Lagi pula, perusahaan memang leluasa memilih para calon dan menginginkan sikap fleksibel, tuntas, dan berani susah. Oleh karenanya, sebagai calon karyawan, bahkan nantinya ketika sudah menjadi karyawan dan manajemen puncak, kita perlu membiasakan sikap ”Under promise and over deliver”.
Memang dalam proses rekruitmen pewawancara bisa terpengaruh perasaan: bisa jatuh cinta atau sebaliknya tidak suka. Ini seringkali disebabkan ‘rasa’ atau naluri’ yang datang dari pancaran chemistry antara si pewawancara dengan yang diwawancara. Seandainya kita punya kebiasaan bersikap manis ke orang lain, maka getaran positiflah yang terpancar, dan proses interviu biasanya berjalan mulus, dengan kesempatan untuk meraih hasil positif lebih besar. Jadi sejak remaja, ‘being nice’ perlu kita pelihara: silaturahmi, senyum, menolong, dan ringan tangan yang memang tidak dipelajari disekolah mana pun. Selain menyenangkan, sikap ini juga bisa mengurangi ketegangan kita.
Kemampuan lain adalah memprioritaskan pekerjaan yang ada seninya tersendiri. Ini perlu kita cek, tanyakan, bahkan amati di lingkungan kerja kita yang baru. Dengan bersiap mengerjakan pekerjaan yang penting dan urgent ketika dibutuhkan, kita terkesan sebagai orang terampil. Walaupun tidak semua pekerjaan kita suka, tetapi dengan memilih dan mendahulukan tugas yang penting, kita mempunyai kesiapan mental yang bisa berpengaruh positif pada diri kita. Kita lihat ‘kewarasan’ dan kedewasaan tidak selamanya sejalan dengan usia. Kita perlu berorientasi pada solusi dengan tidak mengeluh terus dan membiarkan masalah terbuka baik dalam tugas, pekerjaan, bahkan hidup pribadi sehari-hari. Sehingga kita akan terkesan sebagai orang yang lebih dewasa, positif, dan bertanggung jawab. Nah, mari betulkan CV dan portofolio kita dengan menyisipkan sikap positif, suka bekerja dan kematangan di dalamnya.
Bila di masa kuliah kinerja hanya dipertanggung jawabkan oleh mahasiswanya sendiri, saat bekerja, kita bertanggung jawab terhadap kinerja kelompok, atasan, dan bahkan perusahaan. Di masa kuliah salah jawab akan berdampak pada diri sendiri. Di pekerjaan, bisa berakibat fatal. Ada ‘personal accountability” yang dituntut oleh perusahaan. Individu yang memasuki dunia kerja harus menjadi orang yang bertambah kepedulian dan tanggung jawab terhadap kemajuan dirinya sendiri. Pada saat inilah keunikan pribadi dan karater personal seseorang bisa membantunya untuk ‘survive’ di lingkungan kerja. Seorang yang terlihat sebagai pemain tim, dan bisa lebih diandalkan, akan lebih ‘terpakai’ di lingkungan kerja.
Adanya kesenjangan ini diakui hampir semua orang. Dan kemudian, banyak juga yang berusaha menuding lembaga pendidikan, tentang ketidak siapan si ‘anak baru’ ini. Padahal bila kita telaah lebih jauh, walaupun ada upaya untuk menugaskan para mahasiswa untuk berpraktek kerja, memang mereka tidak bisa dipersiapkan untuk menguasai ketrampilan kerja yang memadai. Universitas tidak bisa membuat kurikulum yang sepenuhnya mengajarkan ketrampilan bekerja. Suasana bekerja tim tidak sama ‘pressure’ dan urgensinya dengan dunia pendidikan. Demikian pula kemampuan menghadapi orang lain. Sebuah perusahaan, yang tergolong paling besar dengan manajemen yang sangat rapih pun tiba tiba sangat menyadari bahwa kemampuan dan kesupelan menghadapi orang lain merupakan ketrampilan yang mutlak penting. Jadi kita lihat, ‘lifeskills’ dan ‘work skills’ memang harus dikuasai cepat oleh teman-teman yang baru lulus universitas. Knight dan Yorke pernah mengemukakan kebutuhan kompetensi khas dunia kerja dunia kerja: pemahaman dan penyerapan jalannya bisnis perusahaan dengan cepat, menguasai praktek operasional tugas yang dihadapi, serta ‘meta kognisi’ yaitu kemampuan dan penyadaran diri sendiri dan evaluasi diri, sehingga semangat belajar tetap bisa dihidupkan. Memang, "[The real world] is a big change, more then you can ever imagine when you are sitting in the classroom thinking about the outside world!"
Banyak Lowongan Banyak Pengangguran
Kenyataan menunjukkan banyaknya pencari kerja berdesakan mendaftarkan diri di lowongan yang tersedia. Di beberapa lembaga yang rekrutmennya di tangani oleh Experd, kebutuhan karyawan sebanyak 60 orang, di daftar oleh kurang lebih 100. 000 orang. Kita lihat bahwa banyak pencari kerja yang tersedia. Lowongan kerjapun tidak sedikit. Namun seringkali penyedia kerja mempunyai kriteria sendiri ketika merekrut, dan hal ini sering tidak sejalan dengan kompetensi yang tersedia pada pencari kerjanya. Yang jelas, perekrut menyimpan pertanyaan : “Bisakah si calon langsung bekerja?” “Bisakah calon bertahan untuk waktu yang panjang?” “Bisakah calon ini, di kemudian hari dipromosikan?” Sebuah perusahaan konsultan “Right Management” menyebutkan beberapa ketrampilan yang diburu para penyedia kerja, antara lain, kepemimpinan, kemampuan manajemen, kemampuan interpersonal, inovasi dan kekuatan mental tahan banting yang kesemuanya adalah ‘soft skills’, di prioritas mereka. Konsultan ini mengganggap bahwa kemampuan berjualan, baik konsep diri sendiri, maupun produk dan jasapun sudah menjadi ketrampilan yang krusial, untuk tingkatan manapun, termasuk para pemula kerja . Demikian pula kemampuan servis, memahami pelanggan, internal dan eksternal dipersyaratkan perusahan perusahan perekrut. Kemampuan teknis dan penguasaan IT tentunya juga sudah dianggap sebagai kemampuan dasar. Dari sini kita melihat, bahwa hanya kemampuan teknis saja yang memang sudah ditempa di universitas, sementara kemampuan lain perlu dikembangkan oleh mahasiswa sendiri. “Employability skills” banyak bersifat nonteknis, padahal pemahaman dan pengetahuan ini hanya bisa terlatih bila seseorang bekerja serius di dunia kerja.
Menavigasi Dunia Kerja
Bagi ‘fresh grad” yang beruntung, ia bisa saja mendapatkan tempat kerja baru, di mana ada pelatihan intensif di mana unggah ungguh dunia kerja diperkenalkan di sana. Sebetulnya segala sesuatu yang termasuk dalam budaya kerja di perusahaan, adalah hal hal yang ‘common sense’ . Ada individu yang mudah menyesuaikan diri, tetapi ada yang sulit memahami perannya di dunia kerja, sesuai harapan perusahaan, serta hak dan kewajibannya. Persoalan yang paling sering dihadapi baik oleh para senior di perusahaan dan para pemula adalah interaksi. Dalam hubungan kerja, sering terasa adanya kesulitan berkomunikasi, dari upaya membangun tim, bekerja sama untuk mencapai tujuan tim, apalagi menyamakan persepsi. Values, keyakinan, dan kebiasaan dari masing masing pihak yang berbeda terasa sulit diseimbangkan. “Get things done’ yang memang sudah menjadi motto dari hampir semua institusi dan tidak bisa ditawar tawar lagi, sering menjadi ‘pressure’ bagi individu yang baru bekerja.
Curi Start Sedini Mungkin
Kesenjangan yang sering disebut sebut sebagai kendala kinerja ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Para pencari kerja yang biasanya terdiri dari generasi ‘digital’ sebenarnya mempunyai banyak kelebihan lain, dibandingkan generasi sebelumnya. Banyak orang masih mengira bahwa kreativitas itu domain para seniman dan orang orang jenius, padahal di setiap tugas ada upaya mencari efisiensi dan efektivitas. Itulah kreativitas yang harus menjadi kebiasaan orang bekerja. Sebagai generasi yang lebih terbiasa mencari solusi yang ‘beda’ yang ‘tidak biasa’, ini merupakan kesempatan. Siapa yang harus proaktif? Yang mudalah yang harus mengupayakan ‘employability’nya sendiri. Para freshgrads harus berusaha memahami dan cepat menjadi profesional. Semua yang dipelajari di bangku kuliah perlu segera dikaitkan dengan tempat kerjanya kelak. Selain itu, latihan untuk berpresentasi dan berhubungan secara 360 derajat perlu dianggap serius. Tidak ada produk yang laku, bila tidak dikemas, kitalah yang perlu mengemas diri kita sendiri.
Keriaan dan kebahagiaan hari wisuda hanya akan berlangsung sehari. Perayaan sesungguhnya akan keberhasilan kita dalam menempuh pendidikan, meraih prestasi, bukan dibuktikan melalui kemewahan gedung wisuda maupun kebesaran seragam toganya, namun ditunjukkan dalam seberapa cepat kita dapat berkarya dan meraih prestasi di kehidupan nyata. Jadi bagi adik-adik yang sedang berada dalam euforia selesainya menempuh pendidikan, kita perlu menanamkan mindset bahwa kehidupan karir yang sesungguhnya baru dimulai.
Di sinilah segala kemampuan kita diuji, tidak hanya secara tertulis melalui secarik kertas ijazah, namun juga kemampuan daya tahan, sikap tidak lekas putus asa, kesungguhan hati yang akan menunjukkan kualitas diri kita sebagai seorang yang siap menghadapi tantangan dunia kerja. Tidak mungkin kita sudah putus asa setelah lamaran kerja ditolak berkali- kali. Apalagi mengeluhkan tidak adanya pengalaman kerja, sementara kita memang belum pernah bekerja. Kita seharusnya bisa menelaah, kelebihan apa yang bisa ditonjolkan seorang ‘freshgraduate’ sehingga ia bisa mempunyai daya saing yang kuat di antara teman-temannya. Mengapa yang satu lebih cepat direkrut oleh perusahaan bahkan kadangkala ia mendapatkan tawaran menarik dari beberapa perusahaan sekaligus, sementara yang lain tidak juga kunjung mendapatkan respons meskipun sudah berpuluh – puluh lamaran dan proses seleksi ia ikuti. Sesungguhnya, penting untuk diingat oleh para fresh graduate bahwa mereka tidak bersaing dengan orang-orang berpengalaman, namun justru bersaing dengan rekan-rekan sebayanya. Perusahaan yang membuka kesempatan bagi fresh graduate untuk melamar pastilah memahami bahwa mereka belum memiliki pengalaman bekerja secara formal. Namun kesiapan seorang fresh graduate untuk memasuki dunia kerja dapat dilihat dari sikapnya menghadapi wawancara, pengalamannya dalam ‘mengisi’ dirinya sendiri selama duduk di bangku sekolah di luar tugas – tugas pendidikannya yang menempa dia individu yang lebih matang dalam membangun relasi dengan orang lain, serta bagaimana ia memahami ‘bisnis’ organisasi tempatnya melamar sehingga ia siap berkontribusi terhadap pengembangan bisnis tersebut.
Secara kuantitatif persaingan pasti lebih keras karena jumlah lulusan setiap tahunnya semakin bertambah dengan perbandingan jumlah lowongan pekerjaan yang jauh lebih sedikit karena perusahaan juga terus melakukan efisiensi. Jadi meningkatkan daya saing, berupaya agar menonjol, dan menarik hati perekrut adalah hal terpenting.
Tonjolkan Diri
Bagaimana dengan angka yang dihasilkan selama belajar di universitas? Angka tersebut memang menjadi bahan pertimbangan, tetapi mengingat derajat kesulitan yang berbeda-beda di setiap perguruan tinggi, maka lembaga perekrut biasanya tidak semata mengandalkan angka prestasi belajar. Mau tidak mau, upaya dan kesiapan mental si fresh graduate memang perlu ditempa secepat mungkin, bahkan ketika masih di bangku kuliah.
Selain rekor nilai dan angka pendidikan, sebetulnya kita bisa meningkatkan daya saing di antara teman-teman kita. Kita bisa bertanya pada diri sendiri sukses-sukses kecil apakah yang sudah pernah tercatat dalam sejarah karir kita. Terkadang, kita lupa atau bahkan tidak menyadari kejadian dan peristiwa yang pernah kita menangkan, namun tidak kita simpan dalam benak kita, apalagi secara tertulis. Padahal nyata-nyata formulir lamaran kerja meminta kita untuk mencantumkan pengalaman prestasi, kepemimpinan dan berorganisasi yang pernah diraih. Kita pun tidak bisa menyepelekan media sosial yang menjadi sarana bagi kita untuk berkenalan, berkawan, menjadi anggota komunitas, bertatap muka, bahkan berlatih untuk bersosialisasi. Kebiasaan ini memupuk kompetensi kita untuk berhubungan dengan orang lain, berorganisasi, dan berkolaborasi. Ini akan menjadi modal untuk memberi nilai lebih pada rekor kita.
Sikap itu Super Penting
Pernah ada teman yang menerangkan mengapa ia memilih seorang fresh graduate dibanding dengan calon lain yang berpengalaman. Ia mengatakan bahwa calon tersebut terkesan “serba mau”. Kita lihat bahwa calon ini memiliki potensi untuk bisa mengalahkan rekannya yang berintelegensi lebih tinggi karena sikapnya. Hal seperti inilah yang sering tidak disadari oleh para fresh graduate. Di lain kesempatan, pernah ada seorang calon karyawan yang tidak merespons panggilan berikutnya dalam proses seleksi karena ia merasa panitia rekrutmen tidak profesional ketika ia disuruh menunggu berjam-jam dan ternyata interviu hanya berlangsung kurang dari 30 menit. Sampai saat ini ia belum juga menemukan pekerjaan yang tepat untuk dirinya.
Kita memang tidak boleh memelihara sikap putus asa, justru sebaliknya mengembangkan sikap terbuka dan fleksibel. Apa salahnya menunggu berjam-jam untuk suatu pekerjaan yang kita ingini dan sukai? Lagi pula, perusahaan memang leluasa memilih para calon dan menginginkan sikap fleksibel, tuntas, dan berani susah. Oleh karenanya, sebagai calon karyawan, bahkan nantinya ketika sudah menjadi karyawan dan manajemen puncak, kita perlu membiasakan sikap ”Under promise and over deliver”.
Memang dalam proses rekruitmen pewawancara bisa terpengaruh perasaan: bisa jatuh cinta atau sebaliknya tidak suka. Ini seringkali disebabkan ‘rasa’ atau naluri’ yang datang dari pancaran chemistry antara si pewawancara dengan yang diwawancara. Seandainya kita punya kebiasaan bersikap manis ke orang lain, maka getaran positiflah yang terpancar, dan proses interviu biasanya berjalan mulus, dengan kesempatan untuk meraih hasil positif lebih besar. Jadi sejak remaja, ‘being nice’ perlu kita pelihara: silaturahmi, senyum, menolong, dan ringan tangan yang memang tidak dipelajari disekolah mana pun. Selain menyenangkan, sikap ini juga bisa mengurangi ketegangan kita.
Kemampuan lain adalah memprioritaskan pekerjaan yang ada seninya tersendiri. Ini perlu kita cek, tanyakan, bahkan amati di lingkungan kerja kita yang baru. Dengan bersiap mengerjakan pekerjaan yang penting dan urgent ketika dibutuhkan, kita terkesan sebagai orang terampil. Walaupun tidak semua pekerjaan kita suka, tetapi dengan memilih dan mendahulukan tugas yang penting, kita mempunyai kesiapan mental yang bisa berpengaruh positif pada diri kita. Kita lihat ‘kewarasan’ dan kedewasaan tidak selamanya sejalan dengan usia. Kita perlu berorientasi pada solusi dengan tidak mengeluh terus dan membiarkan masalah terbuka baik dalam tugas, pekerjaan, bahkan hidup pribadi sehari-hari. Sehingga kita akan terkesan sebagai orang yang lebih dewasa, positif, dan bertanggung jawab. Nah, mari betulkan CV dan portofolio kita dengan menyisipkan sikap positif, suka bekerja dan kematangan di dalamnya.
Komentar
Posting Komentar