Benang Merah
Dari para pemimpin yang sukses melakukan perubahan, kita melihat ada beberapa hal yang tidak lepas dari mereka. Bahasa bicara mereka selalu penuh contoh konkrit dan up to date. Mereka hafal mati data yang sedang dikemukakan, baik dalam menghadapi media masa maupun menghadapi anak buah. Darimana didapatkannya semua fakta itu? Bisa saja para pemimpin ini mendapatkan laporan dan membaca data-data yang ada di lembaganya. Tetapi yang jelas, pendekatan mereka sering berbeda daripada pemimpin yang malas atau takut melihat organisasinya dari sudut lapangan dan pelaksanaan, alias ketiadaan ‘alignment’ antara visi, misi, bahkan sasaran organisasi dengan kenyataan dan pancapaian saat ini. Pemimpinlah yang perlu memeriksa dan merancang alignment ini. Andaikata lapangan tidak bisa mengikuti perubahan yang dibuat, setidaknya pemimpin menyadari dan mempunyai rencana dan langkah yang jelas untuk menutup kesenjangannya. Jadi, keputusan yang dibuat selalu sudah memikirkan dan mempersiapkan mekanisme dan kesiapan mental pelaksananya. “Alignment’ tidak mungkin dipikirkan belakangan, karena mungkin mekanisme di lapangan akan menentukan strategi yang berbeda. Kekuatan alignment suatu organisasi akan dengan sendirinya menggambarkan visi misi perusahaan tanpa perlu disebutkan atau ditempel di dinding saja.
Belajar dari Mekanisme
Kita pasti mengerti bahwa perubahan selalu lebih urgent bila kepincangan yang ekstrim sudah terjadi. Di PT KAI penumpang yang naik di atap gerbong mengancam keselamatan dirinya. Ini sudah jelas membutuhkan perubahan yang tidak bisa ditunda-tunda. Dari segi mentalitas, kebiasaan korupsi yang sudah tidak bisa dibendung adalah suatu urgensi. Pendidikan anak yang tersaingi oleh perkembangan teknologi, media sosial dan siaran televisi yang kebanyakan tidak mendidik juga sudah urgen. Bagaimana mengubahnya? Kita tidak bisa hanya berpatokan pada peraturan dan membuat strategi saja. Kita benar-benar perlu mengamati, berkeliling, mencari tahu, bertanya, mendapat masukan, protes dan mencatatnya baik-baik. Kita perlu menentukan bagaimana mekanismenya sampai kepincangan ini sudah terjadi, bahkan sampai berkarat, dari kacamata orang yang melaksanakannya. Kita perlu mendata dengan jelas, sejauh apa penyimpangan terjadi dan mekanisme apa yang salah. Kita perlu menanyakan mekanisme apa yang menurut para pelaksana akan menunjang prinsip kerja yang benar. Kita tidak bisa hanya menanyakan masalah kepada para pelaksana lapangan, namun juga meminta pendapat dan saran perbaikannya. Yang sudah dan belum dilakukan , yang dilakukan tetapi tidak dianggap benar, dan yang belom dilakukan tapi dianggap penting dari sinilah kita baru bisa melihat kemungkinan terlaksananya perubahan yang kita rancang, dan lalu membuat mekanisme-mekanisme yang lebih ‘bergigi’.
Dari para pemimpin yang sukses melakukan perubahan, kita melihat ada beberapa hal yang tidak lepas dari mereka. Bahasa bicara mereka selalu penuh contoh konkrit dan up to date. Mereka hafal mati data yang sedang dikemukakan, baik dalam menghadapi media masa maupun menghadapi anak buah. Darimana didapatkannya semua fakta itu? Bisa saja para pemimpin ini mendapatkan laporan dan membaca data-data yang ada di lembaganya. Tetapi yang jelas, pendekatan mereka sering berbeda daripada pemimpin yang malas atau takut melihat organisasinya dari sudut lapangan dan pelaksanaan, alias ketiadaan ‘alignment’ antara visi, misi, bahkan sasaran organisasi dengan kenyataan dan pancapaian saat ini. Pemimpinlah yang perlu memeriksa dan merancang alignment ini. Andaikata lapangan tidak bisa mengikuti perubahan yang dibuat, setidaknya pemimpin menyadari dan mempunyai rencana dan langkah yang jelas untuk menutup kesenjangannya. Jadi, keputusan yang dibuat selalu sudah memikirkan dan mempersiapkan mekanisme dan kesiapan mental pelaksananya. “Alignment’ tidak mungkin dipikirkan belakangan, karena mungkin mekanisme di lapangan akan menentukan strategi yang berbeda. Kekuatan alignment suatu organisasi akan dengan sendirinya menggambarkan visi misi perusahaan tanpa perlu disebutkan atau ditempel di dinding saja.
Belajar dari Mekanisme
Kita pasti mengerti bahwa perubahan selalu lebih urgent bila kepincangan yang ekstrim sudah terjadi. Di PT KAI penumpang yang naik di atap gerbong mengancam keselamatan dirinya. Ini sudah jelas membutuhkan perubahan yang tidak bisa ditunda-tunda. Dari segi mentalitas, kebiasaan korupsi yang sudah tidak bisa dibendung adalah suatu urgensi. Pendidikan anak yang tersaingi oleh perkembangan teknologi, media sosial dan siaran televisi yang kebanyakan tidak mendidik juga sudah urgen. Bagaimana mengubahnya? Kita tidak bisa hanya berpatokan pada peraturan dan membuat strategi saja. Kita benar-benar perlu mengamati, berkeliling, mencari tahu, bertanya, mendapat masukan, protes dan mencatatnya baik-baik. Kita perlu menentukan bagaimana mekanismenya sampai kepincangan ini sudah terjadi, bahkan sampai berkarat, dari kacamata orang yang melaksanakannya. Kita perlu mendata dengan jelas, sejauh apa penyimpangan terjadi dan mekanisme apa yang salah. Kita perlu menanyakan mekanisme apa yang menurut para pelaksana akan menunjang prinsip kerja yang benar. Kita tidak bisa hanya menanyakan masalah kepada para pelaksana lapangan, namun juga meminta pendapat dan saran perbaikannya. Yang sudah dan belum dilakukan , yang dilakukan tetapi tidak dianggap benar, dan yang belom dilakukan tapi dianggap penting dari sinilah kita baru bisa melihat kemungkinan terlaksananya perubahan yang kita rancang, dan lalu membuat mekanisme-mekanisme yang lebih ‘bergigi’.
Komentar
Posting Komentar