Faham bahwa satu-satunya yang pasti adalah perubahan, sudah
dipahami semua orang. Situasi ini pun pasti membawa dampak juga pada proses
pembelajaran. Lihat saja betapa, anak berusia prasekolah menguasai
komputer. Di perusahaan, kalau dulu orang cukup dikirim untuk kursus,
atau bersekolah lebih lanjut, sekarang korporasi sudah membuat universitas,
membuat segala macam upaya untuk memasukkan pembelajaran ke para
karyawannya. Belum lagi, pengetahuan juga berkembang pesat. Apa yang kita
pelajari sekarang, belum tentu valid untuk digunakan di masa
mendatang. Karenanya manusia, mau tidak mau, harus senantiasa belajar
terus, meskipun ia sudah tidak lagi duduk di bangku sekolah. Kegiatan
belajar yang dibangun oleh civitas akademika memang penting, namun kegiatan
belajar perlu digalakkan ‘on the job’ , berupa ‘life long
learning’, dengan metode yang lebih holistik dan terap untuk
dimanfaatkan dalam pekerjaannya sehari – hari. Seperti yang dinyatakan
oleh pakar pendidikan di dunia kerja, Peter Lassey (1998) mereka yang
sukses hanyalah mereka yang belajar secara terus menerus.
Demikian juga hal-nya dengan organisasi; organisasi yang sukses adalah
organisasi pembelajar, karena tanpa belajar tidak akan ada perbaikan dan
tanpa perbaikan, organisasi akan stagnan. Seorang CEO pernah mengungkapkan,
bahwa masalah dalam mempelajari sesuatu adalah bahwa orang sering tidak
belajar sampai ke ‘marifat’ nya, alias ‘insight’nya,
‘aha’ nya, dan bahkan pencerahan ilmunya. Jaman dahulu belajar memang
banyak diasumsikan sebagai pengumpulan fakta-fakta dan penumpukan
pengetahuan, sehingga metode pembelajaran banyak diarahkan pada hal ini
saja, yakni , satu arah. Belajar sekarang, bukanlah sekedar menghapalkan
fakta – fakta dan rumus rumus, melainkan perlu sampai pada penarikan
kesimpulan, bahkan imajinasi mengenai implementasinya. Menurut pakar
psikologi Edward Thorndike dan B.F. Skinner, gaya pembelajar juga sangat
berpengaruh. Sekarang harus ada upaya si pembelajar untuk
mengeksplorasi lingkungan dan belajar lewat pengalaman. Koneksi yang dibuat
oleh pembelajar dari ide – ide yang ditangkapnya melalui proses
‘belajar melalui pengalaman’ akan membuat pengetahuan menempel lebih
lama dan menetap ketimbang bilamana ‘disuapi’ semata oleh pendidik.
Belajar, karenanya merupakan proses ‘sense making’ yang
berkesinambungan meliputi proses berpikir, menganalisa yang melibatkan
keseluruhan indera serta memori kita.
Belajar sambil berimajinasi
Belakangan ini, beragam metode pembelajaran semakin banyak dapat dijadikan sebagai alternatif bagi pilihan masing-masing gaya belajar. Metode – metode tersebut menyasar pada peningkatan rangsang gerak, visual dan auditif. Ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa orang yang belajar dengan hanya melibatkan satu indera saja akan cepat jenuh , sementara dengan mengoptimalkan keseluruhan indera ditambah dengan pelibatan emosi akan menyentuh minatnya. Di sini, kesempatan untuk mendapatkan pencerahan jadi lebih terbuka. Selain itu suasana belajar yang santai, penuh imajinasi akan memudahkan pencerahan dan cepat memberi logika permasalahan. Kita perlu menemukan cara pelatihan yang ‘powerful’ , ‘trendy’ efektif dan experiential bagi para pekerja , tapi tidak membebaninya. Contoh metode belajar pilot yang menggunakan simulator sebagai alat belajar juga dapat digunakan di organisasi untuk memberi kesempatan bagi si peserta pelatihan berhadapan dengan kasus – kasus nyata di dunia kerja dengan resiko yang minimal; seperti layaknya pilot yang menghadapi beragam situasi sulit dunia penerbangan tanpa perlu membahayakan jiwanya karena menggunakan simulator itu. “Real case’ yang disimulasi dapat membuat peserta berlatih bereaksi. Dengan menjalani simulasi , diharapkan pengalaman peserta pelatihan tidak sekedar rasional tetapi juga emosional. Dari sinilah para peserta akan bisa mencerap tidak sekedar melaui otaknya tetapi juga perasaannya.
Sistem belajar yang mutakhir
Produsen pakaian olah raga Adidas sangat meyakini bahwa belajar di perusahaan haruslah : “light, desirable, and fun.” sehingga pendekatan konvensional dikurangi secara drastis. Sistem pembelajaran harus di ‘buy in’ oleh puluhan ribu karyawannya. Semua karyawan harus secara entusias dan berkemauan untuk belajar, baik secara formal dan informal. Untuk itu, visi organisasi tentang peningkatan peringkat kecerdasan karyawan harus digambarkan secara kongkrit. Semua karyawan harus tahu bahwa : “Working is learning and learning is working”. Demikian pula, kepemimpinan berarti “sharing” antara mengajar dan belajar. Hal yang perlu diyakini setiap karyawan adalah bilamana mereka tidak belajar hal baru, mereka akan kehilangan kesempatan untuk berinovasi. Perusahaan juga tidak boleh melupakan generasi termuda yang ada di pasaran yang dibesarkan melalui You tube, Instagram dan Pinterest. Pendidikan dalam dunia yang serba instan ini menuntut perubahan yang instan pula. Tidak ada waktu untuk dialog yang mendalam. Jam pelatihan semakin lama semakin dipersingkat dengan alasan biaya ataupun tidak bisanya menarik seseorang dari tugasnya untuk waktu yang panjang. Itulah sebabnya kitapun perlu lebih inovatif dalam merancang proses belajar di pekerjaan. Yang jelas, belajar secara formal harus dibarengi dengan kegiatan kegiatan non formal dan informal. Padahal seperti yang kita sebutkan di atas, belajar perlu mencapai tingkat pencerahan , agar efektif. Benedict Carey penulis “How We Learn: The Surprising Truth About When, Where, and Why It Happens”, mengatakan “The brain wants variation “It wants to move, it wants to take periodic breaks.” Anak muda di Adidas ditantang: “If You Think You’re So Smart, Why Don’t You Share Your Knowledge?”. Caranya pun bisa dilakukan secara bervariasi, apakah menggunakan video, musik, drama, yang penting adalah berbagi ide, komunikasi dan kolaborasi untuk mendapatkan hasil yang optimal. Para profesional Sumber Daya Manusia dan Pembelajaran perlu berfikir ulang dan mengimajinasikan ulang integrasi antara belajar dan kerja. Pemanfaatan sosial media, mencari jalan agar belajar tetap menarik, menembus sekat proses belajar dan bekerja merupakan beragam cara agar pembelajaran yang disasar bisa dicapai dengan efektif.
Belajar sambil berimajinasi
Belakangan ini, beragam metode pembelajaran semakin banyak dapat dijadikan sebagai alternatif bagi pilihan masing-masing gaya belajar. Metode – metode tersebut menyasar pada peningkatan rangsang gerak, visual dan auditif. Ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa orang yang belajar dengan hanya melibatkan satu indera saja akan cepat jenuh , sementara dengan mengoptimalkan keseluruhan indera ditambah dengan pelibatan emosi akan menyentuh minatnya. Di sini, kesempatan untuk mendapatkan pencerahan jadi lebih terbuka. Selain itu suasana belajar yang santai, penuh imajinasi akan memudahkan pencerahan dan cepat memberi logika permasalahan. Kita perlu menemukan cara pelatihan yang ‘powerful’ , ‘trendy’ efektif dan experiential bagi para pekerja , tapi tidak membebaninya. Contoh metode belajar pilot yang menggunakan simulator sebagai alat belajar juga dapat digunakan di organisasi untuk memberi kesempatan bagi si peserta pelatihan berhadapan dengan kasus – kasus nyata di dunia kerja dengan resiko yang minimal; seperti layaknya pilot yang menghadapi beragam situasi sulit dunia penerbangan tanpa perlu membahayakan jiwanya karena menggunakan simulator itu. “Real case’ yang disimulasi dapat membuat peserta berlatih bereaksi. Dengan menjalani simulasi , diharapkan pengalaman peserta pelatihan tidak sekedar rasional tetapi juga emosional. Dari sinilah para peserta akan bisa mencerap tidak sekedar melaui otaknya tetapi juga perasaannya.
Sistem belajar yang mutakhir
Produsen pakaian olah raga Adidas sangat meyakini bahwa belajar di perusahaan haruslah : “light, desirable, and fun.” sehingga pendekatan konvensional dikurangi secara drastis. Sistem pembelajaran harus di ‘buy in’ oleh puluhan ribu karyawannya. Semua karyawan harus secara entusias dan berkemauan untuk belajar, baik secara formal dan informal. Untuk itu, visi organisasi tentang peningkatan peringkat kecerdasan karyawan harus digambarkan secara kongkrit. Semua karyawan harus tahu bahwa : “Working is learning and learning is working”. Demikian pula, kepemimpinan berarti “sharing” antara mengajar dan belajar. Hal yang perlu diyakini setiap karyawan adalah bilamana mereka tidak belajar hal baru, mereka akan kehilangan kesempatan untuk berinovasi. Perusahaan juga tidak boleh melupakan generasi termuda yang ada di pasaran yang dibesarkan melalui You tube, Instagram dan Pinterest. Pendidikan dalam dunia yang serba instan ini menuntut perubahan yang instan pula. Tidak ada waktu untuk dialog yang mendalam. Jam pelatihan semakin lama semakin dipersingkat dengan alasan biaya ataupun tidak bisanya menarik seseorang dari tugasnya untuk waktu yang panjang. Itulah sebabnya kitapun perlu lebih inovatif dalam merancang proses belajar di pekerjaan. Yang jelas, belajar secara formal harus dibarengi dengan kegiatan kegiatan non formal dan informal. Padahal seperti yang kita sebutkan di atas, belajar perlu mencapai tingkat pencerahan , agar efektif. Benedict Carey penulis “How We Learn: The Surprising Truth About When, Where, and Why It Happens”, mengatakan “The brain wants variation “It wants to move, it wants to take periodic breaks.” Anak muda di Adidas ditantang: “If You Think You’re So Smart, Why Don’t You Share Your Knowledge?”. Caranya pun bisa dilakukan secara bervariasi, apakah menggunakan video, musik, drama, yang penting adalah berbagi ide, komunikasi dan kolaborasi untuk mendapatkan hasil yang optimal. Para profesional Sumber Daya Manusia dan Pembelajaran perlu berfikir ulang dan mengimajinasikan ulang integrasi antara belajar dan kerja. Pemanfaatan sosial media, mencari jalan agar belajar tetap menarik, menembus sekat proses belajar dan bekerja merupakan beragam cara agar pembelajaran yang disasar bisa dicapai dengan efektif.
Komentar
Posting Komentar