Dalam banyak organisasi, kita menemui kinerja yang luar
biasa. Banyak tim sudah benar benar menerapkan ‘customer
service’ dengan dedikasi tinggi dan proses serta sikap yang sungguh
professional. Bahkan banyak lembaga memiliki standar tinggi, baik dalam
integritas maupun produk yang dihasilkan. Sementara di tempat lain, visi
misi mulia yang ditetapkan oleh para founding fathers menjadi sebuah
coretan di atas kertas belaka. Karyawan bergerak sendiri tanpa arah,
pimpinan berjibaku berusaha memenuhi target finansial yang dicanangkan
sambil mengeluhkan sikap dan kompetensi anak buahnya yang tidak mumpuni
namun mereka juga tidak kuasa melakukan apa-apa karena sulitnya mendapatkan
tenaga kerja yang berkualitas saat ini.
Bila ditelaah lebih jauh lagi, kita bisa membaca bahwa suasana organisasi bukannya “tidak menyenangkan” tetapi juga tidak dirasakan merangsang produktivitas. Remunerasi tidak bisa dikeluhkan, bahkan mungkin termasuk 10 besar di kelasnya. Namun atmosfer ‘dingin’ sungguh terasa ketika kita bergabung ke dalam, atau bahkan bersentuhan . Individu yang sulit bekerja sama atau bahkan berbuat salah, cenderung didiamkan saja. Individu yang jelas-jelas tidak berprestasi sampai bertahun – tahun masih tetap berada di zona nyamannya dan menerima gaji setiap bulan karena atasan tidak berani, menegur, mendera dan menggambarkan ‘gap’ antara kenyataan dan harapannya. Anak buah yang tidak peduli pada kedisiplinan malahan disegani oleh kawan kawannya dan menjadi populer. Laporan laporan tidak dibicarakan dan dimanfaatkan sebagai bahan perbaikan. Jadi apa yang hilang? Apa yang menyebabkan suasana tidak menumbuhkan semangat yang tidak ada habisnya? Apalagi berinspirasi dan beraspirasi?
Orang bicara tentang ‘mereka’ tetapi bukan kepada ‘mereka’. Atasan tidak berani mengkritik bawahan, anak buah segan memberi masukan pada atasan yang permintaannya mungkin tidak realistis. Singkat kata, asal tidak berbenturan dengan lawan bicara, percakapan bisa lancar. Kelancaran inilah yang dipelihara, sehingga bila kita ingin mengkritik seseorang; apakah atasan ataupun bawahan, kita memilih jalan berputar dengan meminta bantuan orang lain, membicarakannya di belakang mereka atau malah menundanya sampai batas waktu yang tidak ditentukan dan akhirnya terlupakan. Kegagalan ketika berusaha melakukan komunikasi terbuka , menyebabkan individu jera dan tidak mendera dirinya untuk terus mencoba dan meng’gol’kan upayanya. Ini ibarat kita hidup bersama seseorang yang dekat dengan kita, dengan bau badan, tetapi bertahun tahun tidak menegurnya; paling-paling menghadiahkan ‘deodorant’ dalam momen khusus dan mengambil jarak. Organisasi yang isinya orang orang yang tidak keras menjalankan prinsip berkinerja ini, bisa kalah bersaing dengan organisasi yang isinya adalah mereka yang ambisius, bersaing dan bisa mengutarakan pendapat secara terbuka serta berdebat satu sama lain untuk membuat perbaikan, menciptakan inovasi dan meningkatkan produktivitas. Kita sering lupa bahwa komunikasi yang buruk bisa menciptakan atmosfir kerja yang buruk, dan benar benar menghambat kinerja. Mengapa begitu banyak orang yang menghindari tegur sapa yang menegangkan dan berisiko ini?
Ewuh pakewuh
Keyakinan bahwa membangun komunikasi yang terbuka itu adalah wajib dan akan berdampak positif, sering tidak dipertahankan orang. Banyak yang menghindar agar tidak terjadi konflik yang dapat membuat kita tidak bisa tidur nyenyak. Banyak juga yang merasa bahwa sekali mengalami kegagalan, hubungan tidak pernah bisa membaik lagi dan menjadi patah arang karenanya. Kita memang tidak mau menyakiti hati orang. Demikian pula kita tidak ingin sakit hati. Konsekuensi dari konflik inilah yang sering menyebabkan orang tidak mengeraskan hatinya untuk menembus hambatan keterusterangan ini. Dalam pekerjaan tidak mampunya kita menegur, menilai, dan memperbaiki adalah sikap yang sangat merugikan lembaga atau perusahaan. Orang bekerja senantiasa harus belajar untuk menjadi lebih baik. Komunikasi untuk mendukung produktivitas ini haruslah dilakukan oleh kedua belah pihak, baik atasan dan bawahan dengan dilandasi pada itikad baik yang sama yaitu meningkatkan daya saing perusahaan agar dapat menjadi yang terdepan di kelasnya. Karena hubungan yang sehat didasari oleh kesadaran saling membutuhkan, bukan hanya atasan yang membutuhkan bawahan untuk melakukan pekerjaan dengan baik, namun bawahan pun membutuhkan atasan untuk mengarahkan, memberi masukan agar kompetensi semakin berkembang terus.
Berdisiplin untuk berbicara
Dalam sebuah organisasi pasti ada beda persepsi, beda pendapat dan nilai. Kita perlu menyadari bahwa perbedaan itu memang diperlukan dan tidak bisa kita hindari. Kita memang tidak bisa menyukai semua orang, tetapi perbedaan antara kita dengan orang lain, perlu kita akui dan hargai. Kita harus mahir mendengar perasaan orang lain, baik atasan, anak buah maupun rekan kerja, setara dengan kemampuan kita mengakui dan mengekspresikan perasaan senang, kecewa, kagum dan khawatir kita. Kita perlu berkomunikasi sampai seluruh anggota tim dapat secara kolaboratif memandang persoalan seolah melihat gambar yang sama. Biasakan menggunakan fakta, dan segala sesuatu yang terukur untuk jadi acuan, sehingga tidak diperlukan adu argumentasi. Bila kita mau membicarakan hal yang berakibat pada perasaan, mulailah dengan membicarakan dampak nya bila situasi memburuk. Kitapun perlu senantiasa menyadari kontribusi kita terhadap suatu situasi betapapun kecilnya. Karena itu pendekatan dan faham bahwa suatu situasi adalah milik bersama, akan membuat komunikasi menjadi lebih ringan. Kita perlu melatih diri untuk semakin lama semakin lancar dalam berkomunikasi dari hati ke hati. Semakin banyak pertanyaan yang digunakan secara tepat, semakin kita berbicara dua arah. Semakin kita berani mengambil risiko keterbukaan diri, semakin mudah kita ‘masuk’ dalam kebersamaan. Setiap orang mempunyai ceritera tentang dirinya. Inilah yang bisa kita gunakan sebagai patokan bertegur sapa. Kita perlu membiasakan bertanya : “Apa pendapat Anda mengenai situasi ini?”
Bila ditelaah lebih jauh lagi, kita bisa membaca bahwa suasana organisasi bukannya “tidak menyenangkan” tetapi juga tidak dirasakan merangsang produktivitas. Remunerasi tidak bisa dikeluhkan, bahkan mungkin termasuk 10 besar di kelasnya. Namun atmosfer ‘dingin’ sungguh terasa ketika kita bergabung ke dalam, atau bahkan bersentuhan . Individu yang sulit bekerja sama atau bahkan berbuat salah, cenderung didiamkan saja. Individu yang jelas-jelas tidak berprestasi sampai bertahun – tahun masih tetap berada di zona nyamannya dan menerima gaji setiap bulan karena atasan tidak berani, menegur, mendera dan menggambarkan ‘gap’ antara kenyataan dan harapannya. Anak buah yang tidak peduli pada kedisiplinan malahan disegani oleh kawan kawannya dan menjadi populer. Laporan laporan tidak dibicarakan dan dimanfaatkan sebagai bahan perbaikan. Jadi apa yang hilang? Apa yang menyebabkan suasana tidak menumbuhkan semangat yang tidak ada habisnya? Apalagi berinspirasi dan beraspirasi?
Orang bicara tentang ‘mereka’ tetapi bukan kepada ‘mereka’. Atasan tidak berani mengkritik bawahan, anak buah segan memberi masukan pada atasan yang permintaannya mungkin tidak realistis. Singkat kata, asal tidak berbenturan dengan lawan bicara, percakapan bisa lancar. Kelancaran inilah yang dipelihara, sehingga bila kita ingin mengkritik seseorang; apakah atasan ataupun bawahan, kita memilih jalan berputar dengan meminta bantuan orang lain, membicarakannya di belakang mereka atau malah menundanya sampai batas waktu yang tidak ditentukan dan akhirnya terlupakan. Kegagalan ketika berusaha melakukan komunikasi terbuka , menyebabkan individu jera dan tidak mendera dirinya untuk terus mencoba dan meng’gol’kan upayanya. Ini ibarat kita hidup bersama seseorang yang dekat dengan kita, dengan bau badan, tetapi bertahun tahun tidak menegurnya; paling-paling menghadiahkan ‘deodorant’ dalam momen khusus dan mengambil jarak. Organisasi yang isinya orang orang yang tidak keras menjalankan prinsip berkinerja ini, bisa kalah bersaing dengan organisasi yang isinya adalah mereka yang ambisius, bersaing dan bisa mengutarakan pendapat secara terbuka serta berdebat satu sama lain untuk membuat perbaikan, menciptakan inovasi dan meningkatkan produktivitas. Kita sering lupa bahwa komunikasi yang buruk bisa menciptakan atmosfir kerja yang buruk, dan benar benar menghambat kinerja. Mengapa begitu banyak orang yang menghindari tegur sapa yang menegangkan dan berisiko ini?
Ewuh pakewuh
Keyakinan bahwa membangun komunikasi yang terbuka itu adalah wajib dan akan berdampak positif, sering tidak dipertahankan orang. Banyak yang menghindar agar tidak terjadi konflik yang dapat membuat kita tidak bisa tidur nyenyak. Banyak juga yang merasa bahwa sekali mengalami kegagalan, hubungan tidak pernah bisa membaik lagi dan menjadi patah arang karenanya. Kita memang tidak mau menyakiti hati orang. Demikian pula kita tidak ingin sakit hati. Konsekuensi dari konflik inilah yang sering menyebabkan orang tidak mengeraskan hatinya untuk menembus hambatan keterusterangan ini. Dalam pekerjaan tidak mampunya kita menegur, menilai, dan memperbaiki adalah sikap yang sangat merugikan lembaga atau perusahaan. Orang bekerja senantiasa harus belajar untuk menjadi lebih baik. Komunikasi untuk mendukung produktivitas ini haruslah dilakukan oleh kedua belah pihak, baik atasan dan bawahan dengan dilandasi pada itikad baik yang sama yaitu meningkatkan daya saing perusahaan agar dapat menjadi yang terdepan di kelasnya. Karena hubungan yang sehat didasari oleh kesadaran saling membutuhkan, bukan hanya atasan yang membutuhkan bawahan untuk melakukan pekerjaan dengan baik, namun bawahan pun membutuhkan atasan untuk mengarahkan, memberi masukan agar kompetensi semakin berkembang terus.
Berdisiplin untuk berbicara
Dalam sebuah organisasi pasti ada beda persepsi, beda pendapat dan nilai. Kita perlu menyadari bahwa perbedaan itu memang diperlukan dan tidak bisa kita hindari. Kita memang tidak bisa menyukai semua orang, tetapi perbedaan antara kita dengan orang lain, perlu kita akui dan hargai. Kita harus mahir mendengar perasaan orang lain, baik atasan, anak buah maupun rekan kerja, setara dengan kemampuan kita mengakui dan mengekspresikan perasaan senang, kecewa, kagum dan khawatir kita. Kita perlu berkomunikasi sampai seluruh anggota tim dapat secara kolaboratif memandang persoalan seolah melihat gambar yang sama. Biasakan menggunakan fakta, dan segala sesuatu yang terukur untuk jadi acuan, sehingga tidak diperlukan adu argumentasi. Bila kita mau membicarakan hal yang berakibat pada perasaan, mulailah dengan membicarakan dampak nya bila situasi memburuk. Kitapun perlu senantiasa menyadari kontribusi kita terhadap suatu situasi betapapun kecilnya. Karena itu pendekatan dan faham bahwa suatu situasi adalah milik bersama, akan membuat komunikasi menjadi lebih ringan. Kita perlu melatih diri untuk semakin lama semakin lancar dalam berkomunikasi dari hati ke hati. Semakin banyak pertanyaan yang digunakan secara tepat, semakin kita berbicara dua arah. Semakin kita berani mengambil risiko keterbukaan diri, semakin mudah kita ‘masuk’ dalam kebersamaan. Setiap orang mempunyai ceritera tentang dirinya. Inilah yang bisa kita gunakan sebagai patokan bertegur sapa. Kita perlu membiasakan bertanya : “Apa pendapat Anda mengenai situasi ini?”
Komentar
Posting Komentar